Sejarah Lahirnya PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)
Ditulis pada: 20.28
Sejarah Lahirnya PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) - PMII adalah sebuah organisasi mahasiswa yang mayoritas beranggotakan muslim yang berpaham ala Ahlussunnah wal-Jama'ah, dalam pendiriannya, PMII mengalami perjalanan yang amat panjang dan penuh dengan rintangan. Tidak seperti yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, PMII lahir melalui proses yang panjang melalui banyak rintangan dan kendala yang harus dilaluinya. Tekad para mahasiswa NU untuk mendirikan sebuah organisasi mahasiswa patut diacungi jempol kala itu, namun PBNU tak segera memberi lampu hijaunya.
Alasan PBNU ialah belum memerlukan adanya organisasi mahasiswa sebagai wadah dan inspirasi mahasiswa NU di perguruan tinggi, sebab NU telah mempunyai organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). IPNU di rasa sanggup menjadi wadah tak cuma untuk pelajar saja, tapi juga bagi mahasiswa NU secara umum.
Akan tetapi, tekad dan semangat yang kuat untuk mendirikan sebuah organisasi mahasiswa NU terus berkobar-kobar, bahkan beberapa mahasiswa NU makin masif mensosialisasikan ke berbagai universitas yang ada di Indonesia. Karena tekad, semangat serta kegigihan mahasiswa NU inilah, selanjutnya PBNU tak dapat untuk tak memberi lampu hijau terbentuknya PMII. Bagaimana sejarah lahirnya PMMI ? mari kita simak sampai selesai.
PMII lahir dari rahim Departemen Perguruan Tinggi IPNU pada 21 Syawal 1379 H / 17 April 1960 M. IPNU adalah organisasi pelajar yang berada di bawah naungan NU. Gagasan terbentuknya PMII ini bermula dari kemauan yang kuat mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi sebagai wadah dan rutinitas mahasiswa NU di Perguruan Tinggi Islam atau umum. Perihal ini lumrah, mengingat realita politik pada dekade 50-an banyak bermunculan organisasi mahasiswa di bawah underbouw parpol / organisasi sosial keagamaan. Contohnya SEMMI (dengan PSII), KMI (dengan PERTI), IMM (dengan Muhammadiyah), dan HMI (dekat dengan Masyumi). Namun, karena pada saat itu sudah ada IPNU yang mana sejumlah besar pengurusnya ialah mahasiswa NU, jadi IPNU bukan hanya menjadi wadah pelajar NU saja, tetapi juga menjadi wadah bagi mahasiswa NU.
Walaupun di tahun 1955 mahasiswa NU di Jakarta pernah sempat membentuk Ikatan Mahasiswa NU (IMANU), di Bandung berdiri Persatuan Mahasiswa NU (PMNU) dan di Surakarta berdiri Keluarga Mahasiswa NU (KMNU), tetapi organisasi ini tak berdiri lama, lantaran PBNU tak segera memberikan restu. Dapat dimaklumi jika PBNU tak memberikan lampu hijaunya, karena saat itu IPNU baru lahir di tahun 1954, sementara pengurus IPNU banyak juga yang berasal dari mahasiswa. Dapat diasumsikan apabila mendirikan organisasi mahasiswa NU tentu bakalan sulit untuk mengurus serta mengelola ke-2 organisasi yang ada di bawah naungan NU, sebab itu dari sinilah dicemaskan IPNU nantinya tak ada yang mengurusi.
Semangat untuk mendirikan organisasi sebagai wadah mahasiswa NU terus berjalan sampai kongres II IPNU pada tahun 1957 di Pekalongan. Tetapi, lagi-lagi tidak memperoleh tanggapan yang serius, dengan alasan jika IPNU yang di saat tersebut masih baru terbentuk membutuhkan pembenahan dan konsolidasi yang matang. Dalam perjalanannya, lantaran kegigihan dan perjuangan mahasiswa NU ini mendapatkan jalan keluar pada kongres III IPNU pada 27-31 Desember 1958 di Cirebon dengan membuat Departemen Perguruan Tinggi. Departemen Perguruan Tinggi IPNU ini yang pada akhirnya jadi wadah dan inspirasi bagi mahasiswa NU.
Sayang, Departemen Perguruan Tinggi IPNU rupanya tidak dapat menangkal kemauan mahasiswa NU untuk memisahkan diri, karena IPNU tidak dapat menampung inspirasi mahasiswa. Masalah ini lantaran beberapa argumen, sebagaimana berikut ini.
- Keadaan objektif memperlihatkan jika kemauan, dinamika dan pergerakan mahasiswa berlainan dengan kemauan beberapa pelajar.
- Dengan cuma membentuk departemen dalam IPNU, mahasiswa NU tidak dapat masuk sebagai anggota Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), karena PPMI cuma dapat menampung ormas mahasiswa.
- Keadaan sosial-politik bangsa Indonesia mendesak supaya NU memiliki organisasi mahasiswa sebagai wadah pengkaderan kepemimpinan NU. Perihal ini tidak lain lantaran NU pada kondisi itu sebagai pemenang ke-3 dalam pemilu 1955, di saat yang sama, salah satu wadah mahasiswa Islam hanya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI sendiri begitu dekat dengan Masyumi yang secara politik telah berseberangan dengan NU. Ditambah lagi Masyumi yang memiliki masalah dan turut serta dalam pemberontakan PRRI.
Perjuangan mahasiswa NU untuk membentuk organisasi mahasiswa di bawah naungan NU sampai kepada puncaknya saat IPNU melangsungkan Konferensi Besar (Konbes) pada 14-17 Maret 1960 di Kaliurang, Yogyakarta. Isma'il Makky (Ketua Departemen Perguruan Tinggi IPNU) dan Moh. Hartono, BA (Mantan wakil pimpinan usaha harian Pelita Jakarta) menjadi wakil mahasiswa yang berbicara di depan para peserta Konbes, yang selanjutnya mereka tegaskan akan kemauan mahasiswa untuk membentuk organisasi yang menampung inspirasi mahasiswa NU. Alhasil, dari konbes itu menghasilkan keputusan pentingnya membentuk satu organisasi mahasiswa NU.
Tahap selanjutnya yaitu membentuk kepanitiaan sponsor pendiri organisasi yang memiliki anggota 13 orang. Tugas dari team 13 ini ialah melaksanakan permufakatan mahasiswa NU se-Indonesia yang akan berada di Surabaya dengan limit sebulan sesudah keputusan Kaliurang. ke-13 orang team itu ialah Cholid Mawardi (Jakarta), Said Budairy (Jakarta), M. Sobich Ubaid (Jakarta), M. Makmun Syukri, BA (Bandung), Hilman (Bandung), H. Ismai'il Makky (Yogyakarta), Munsif Nahrawi (Yogyakarta), Nuril Huda Suaidy HA (Surakarta), Laily Mansur (Surakarta), Abd. Wahab Jailani (Semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Cholid Narbuko (Malang) dan Ahmad Husain (Makasar).
Baca juga: Paradigma PMII dari Masa ke Masa
Saat sebelum permufakatan dilakukan, team panitia yang diwakilkan oleh 3 orang, yaitu Hisbullah Huda, M. Said Budairy dan Makmun Sukri BA menghadap ke Ketua Umum PBNU, KH. Dr. Idham Khalid untuk memohon do'a restu dan kesepakatan ihwal pembentukan organisasi mahasiswa NU. Dalam nasihatnya, KH. Idham Khalid merekomendasikan supaya organisasi yang bakal dibuat betul-betul bisa dihandalkan sebagai kader NU dengan argument pengetahuan yang dipunyai oleh mahasiswa harus diamalkan untuk keperluan rakyat. Bukan pengetahuan untuk pengetahuan. Sesudah memberikan nasihat, Ketua Umum PBNU memberikan restu dilakukannya permufakatan mahasiswa tersebut.
Setelah itu, pada 14-16 April 1960 diadakan permufakatan mahasiswa NU se-Indonesia berlokasi di sekolah Mu'alimat NU Wonokromo Surabaya untuk mengulas mengenai pengesahan organisasi sesuai keputusan konbes IPNU di Kaliurang satu bulan sebelumnya. Dalam permufakatan itu sempat ada diskusi mengenai nama organisasi yang bakal dibuat. Proses dari diskusi itu memunculkan beberapa nama yang diusulkan oleh peserta permufakatan di antaranya :
- Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU), yang diusulkan oleh delegasi dari Jakarta
- Persatuan atau Perhimpunan Mahasiswa Ahlussunnah wal Jamaah atau Perhimpunan Mahasiswa Sunni, yang diusulkan oleh delegasi dari Yogyakarta
- Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang diusulkan oleh delegasi Bandung, Surabaya dan Surakarta.
Dari ke-3 saran itu pada akhirnya yang disepakati yakni nama PMII. Dalam masalah ini peserta sesungguhnya mengetahui jika organisasi ini ialah organisasi kader partai NU, namun semua menginginkan supaya nama NU tidak tercantum. Hanya saja mereka setuju supaya organisasi ini tidak lepas dari arti filosofis "Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia" dengan rumusan pertimbangan sebagaimana berikut ini:
- Merealisasikan adanya kedinamisan sebagai organisasi mahasiswa, terutama karena pada waktu itu keadaan politik nasional diliputi oleh semangat revolusi.
- Memperlihatkan identitas keislaman sekalian sebagai lanjutan dari konsepsi NU yang berhaluan Ahlussunnah wal-Jama'ah, berdasar pada perjuangan para wali di pulau Jawa yang sudah sukses menjalankan dakwahnya dengan penuh toleransi serta mengakulturasi budaya setempat. Mahasiswa NU diharapkan dapat membahas budaya untuk dapat difungsikan mana yang berlawanan atau tidak berlawanan dengan tuntunan Islam, sehingga dengan demikian nilai-nilai tuntunannya memiliki sifat akomodatif.
- Memanifestasikan nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, oleh sebab itu nama Indonesia tetap harus tercantum.
Hasil dari keputusan soal pemberian nama PMII ini, paling tidak ada empat hal yang menarik untuk dikupas.
- "Pergerakan", pada awalnya huruf "P" dalam PMII memiliki 3 alternative kepanjangan, yakni pergerakan, perhimpunan, dan persatuan. Pada akhirnya yang diputuskan ialah pergerakan (movement/al-harakah) dengan argumentasi karakter mahasiswa yang selalu dinamis dan memiliki karakter bergerak secara aktif.
- "Mahasiswa", PMII mendefinisikan mahasiswa sebagai generasi muda yang menuntut pengetahuan di Perguruan Tinggi yang memiliki jati diri. Jati diri mahasiswa terjaga oleh citra diri sebagai insan spiritual, insan aktif, insan sosial dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa itu ada tanggung jawab keagamaan, intelektual sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab individu sebagai hamba Tuhan atau kader negara serta bangsa. Mahasiswa diangankan berisi kandungan-kandungan, nilai-nilai intelektualitas, idealitas, loyalitas dan stabilitas.
- "Islam", Islam yang dipahami PMII adalah Islam ala Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai corak basis keagamaan yang dicapai sepanjang menimba ilmu-ilmu agama di pesantren. Di samping itu, corak keberislaman ini sesuai dengan yang dipegang kuat oleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam tiap pertimbangan dan sikapnya. Sebuah pemahaman Islam yang mengakulturasi budaya warga setempat dengan tuntunan-tuntunan keislaman.
- "Nasionalisme dan nama Indonesia", penegasan istilah nasionalisme dan nama Indonesia seperti yang terdapat dalam konsep pemikiran point ke-3 , memperlihatkan kalau semenjak awal mula kelahirannya, PMII telah memberikan loyalitas yang kuat untuk rasa nasionalisme dan berkebangsaan Indonesia. Penegasan istilah nasionalisme dan Indonesia ini sebagai sikap pada organisasi mahasiswa Islam yang terlebih dahulu ada yaitu HMI yang tidak memperjelas nama Indonesia di dalamnya.
Baca juga: Aswaja sebagai Landasan Teologis dan Manhaj al-Fikr wa al-Harakah
Permufakatan mahasiswa NU itu memutuskan 3 orang formatur yang diberi tugas membuat kepengurusan. Mereka ke-3 ini yaitu Mahbub Djunaidi selaku ketua umum, A. Chalid Mawardi selaku ketua satu dan M. Said Budairy selaku sekretaris umum. Di samping itu forum sukses memutuskan ketentuan dasar PMII yang berlaku mulai 17 April 1960. Setelah itu tanggal inilah yang dipastikan sebagai hari lahirnya PMII secara resmi.
Di sini jelas sudah kalau buah pikiran dasar pendirian PMII murni bermula dari ide pemuda NU. Opsi untuk bernaung di bawah panji NU bukan sekadar pemikiran praktis, bukan juga karena keadaan waktu itu dependen atau jadi organisasi underbouw sebagai kemutlakan, tapi jauh dari itu keterkaitan PMII dan NU sudah tercipta dan sengaja dibuat atas dasar kecocokan nilai, kultur, akidah, sudut pandang, bertindak, berperangai dan cita-cita yang serupa. Walau seterusnya PMII harus memutuskan untuk independent sebagai sebuah konsep kedewasaan dan kedinamisan organisasi, namun tidak serta merta dapat dipisah dengan NU, perihal ini lantaran kecocokan misi dan harapan seperti yang disebutkan. Adapun hal independensi PMII ini akan diterangkan pada kajian selanjutnya.
Sumber: Hifni, Ahmad. 2016. "Menjadi Kader PMII". Tanggerang: Moderate Muslim Society (MMS).