Islam sebagai Produk Budaya
Ditulis pada: 22.49
Apakah Islam Sebagai Produk Budaya?
Gejolak dalam Islam dan kebudayaan yang timbul dalam benak umat Islam saat ini seperti sebuah pertanyaan “Apakah Islam itu kebudayaan?” pertanyaan seperti ini penting untuk dikaji agar pemahaman manusia tidak tumpul dan terlena pada dimensi kenyamanan saat ini dan juga agar manusia memahami Islam secara lebih komprehensif. Di samping itu, menghubungkan antara Islam dan kebudayaan Arab yang ada ketika kitab suci diturunkan dan hadis Nabi disabdakan.
Agama Islam ini bukanlah agama yang dimulai dari nol, tetapi agama yang menambah kebaikan dari ajaran-ajaran yang lalu dan juga menghapus atau menolak ajaran-ajaran yang tidak benar serta memperbaiki ajaran yang salah. Dari semua ajaran yang dibawa, agama Islam memunculkan gejala sosial dan budaya yang baru dari sebelumnya.
Oleh karena itu, memahami suatu agama diperlukan berbagai pendekatan di antaranya melalui pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, historis, filosofis, dan kebudayaan. Hal itu dilakukan agar melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya, tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat dan tidak fungsional. Untuk itu, berikut ulasan yang akan menjawab mengenai pertanyaan "Apakah Islam sebagai Produk Budaya".
Definisi Kebudayaan
Kebudayaan merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata budaya yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan bahwa: “budaya” adalah pikiran dan akal budi. Kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal). Budi mempunyai arti akal, kelakuan, dan norma. Sedangkan “daya” berarti hasil karya cipta manusia. Dengan demikian, kebudayaan adalah semua hasil karya, karsa dan cipta manusia di masyarakat. Oleh karena itu, kebudayaan merupakan hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.
Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan lain-lain). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudayaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropologi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan.
Dalam literatur antropologi terdapat tiga istilah yang boleh jadi semakna dengan kebudayaan, yaitu culture, civilization, dan kebudayaan. Term kultur berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata cultura (kata kerjanya colo, colere). Arti kultur adalah memelihara, mengerjakan, atau mengolah (S. Takdir Alisyahbana, 1986: 205). Soerjono Soekanto (1993: 188) mengungkapkan hal yang sama. Namun, ia menjelaskan lebih jauh bahwa yang dimaksud dengan mengolah atau mengerjakan sebagai arti kultur adalah mengolah tanah atau bertani. Atas dasar arti yang dikandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Istilah kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan adalah sivilisasi. Sivilisasi (civilization) berasal dari kata Latin, yaitu civis. Arti kata civis adalah warga negara (civitas = negara kota, dan civilitas = kewarganegaraan). Oleh karena itu, S. Takdir Alisyahbana (1986: 206) menjelaskan bahwa sivilitasi berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih progresif dan lebih halus. Dalam bahasa Indonesia, peradaban dianggap sepadan dengan kata civilization.
Berikut beberapa pengertian kebudayaan menurut S. Takdir Alisyahbana (1986: 207-8).
- Kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
- Kebudayaan adalah warisan sosial atau tradisi.
- Kebudayaan adalah cara, aturan, dan jalan hidup manusia.
- Kebudayaan adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan persoalan.
- Kebudayaan adalah hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.
- Kebudayaan adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.
Menurut Koentjarajakti, kebudayaan terdiri dari dua komponen pokok, yaitu komponen isi dan komponen wujud. Komponen wujud dari kebudayaan terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem sosial berupa tingkah-laku dan tindakan. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa komponen wujud terbentuk dari tiga aspek, yaitu: ide, gagasan, dan tingkah laku. Adapun komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian.
Ketujuh unsur ini saling berkolaborasi dalam penyusunan terbentuknya komponen isi. Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil.
Nilai budaya berlaku dalam masyarakat, sementara norma itu sendiri lahir akibat adanya pola pikir. Pola pikir yang muncul dalam masyarakat akan membentuk sikap dan sikap akan menghasilkan tindakan atau perbuatan. Dalam wacana zaman kita, pemahaman tentang kebudayaan sudah jauh melampaui konotasi pengerjaan tanah belaka atau bahkan juga alam, dan semakin mencakup kesegalaan serta bahkan meraup segala kemungkinan yang berkenaan dengan eksistensi manusia.
Pada tataran empiris kita sering berjumpa dengan istilah kebudayaan dengan makna cultivation dalam konteks seni dan apa yang disebut sebagai social graces atau juga body of artistic works, yaitu persis seperti yang dimaksudkan dalam malam kebudayaan atau pekan kebudayaan dan karya-karya seni rupa. Dalam antropologi kebudayaan istilah kebudayaan hendak lebih banyak menunjukkan kepada pengalaman dan gaya hidup yang dipelajari dan diakumulasi, diteruskan serta dikembangkan dan dengan begitu nyaris merujuk kepada perjalanan sejarah manusia.
Budaya menurut Islam
Budaya menurut Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan membawa madharat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab. Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam:
1. Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan: “al adatu muhakkamatun” artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syariat, seperti; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas.
Dalam Islam budaya itu sah-sah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
2. Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian di rekonstruksi sehingga menjadi Islami.
Contoh yang paling jelas adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti lafadz “ talbiyah” yang sarat dengan kesyirikan, thawaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk merekonstruksi budaya tersebut menjadi bentuk “Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantunkan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap di pertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
3. Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kriterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum.
Sebagai contoh adalah apa yang ditulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “al adatu muhakkamatun” karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang non-muslim.
Unsur-Unsur Budaya
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsur-unsur besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Unsur-unsur kebudayaan dalam pandangan Malinowski adalah sebagai berikut:
- Sistem norma yang memungkinkan terjadinya kerja sama antara para anggota masyarakat dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
- Organisasi ekonomi.
- Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan (keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama).
- Organisasi kekuatan (Soerjono Soekanto, 1993: 192).
Dengan istilah teknis yang berbeda tetapi sama dari segi substansi, sambil mengutip pendapat Herskovits, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964: 115) mengajukan empat unsur kebudayaan, yaitu technological equipment (alat-alat teknologi), economic system (sistem ekonomi), family (keluarga), dan political control (kekuasaan politik).
Di samping itu, terdapat unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal (cultural universal), karena dapat dijumpai pada setiap kebudayaan yang ada di dunia ini. C. Kluckhon, seorang antropolog, telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu yang disederhanakan menjadi tujuh. Tujuh unsur yang dianggapnya sebagai cultural universal adalah sebagai berikut:
- Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, dan alat-alat transportasi).
- Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, dan sistem distribusi).
- Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan).
- Bahasa (lisan dan tulisan).
- Kesenian (seni rupa, seni suara, dan seni gerak).
- Sistem pengetahuan.
- Religi (sistem kepercayaan). (Soerjono Soekanto, 1993: 192-3).
Menurut Guru besar antropologi Universitas Indonesia, Koentjaraningrat membagi unsur kebudayaan universal ini menjadi tujuh bagian, yakni:
1. Bahasa
Suatu pengucapan yang indah dalam elemen kebudayaan dan sekaligus menjadi alat perantara yang utama bagi manusia untuk meneruskan atau mengadaptasikan kebudayaan. Ada dua bentuk bahasa yaitu lisan dan tulisan.
2. Sistem pengetahuan
Unsur ini berkisar pada pengetahuan tentang kondisi alam sekelilingnya dan sifat-sifat peralatan yang dipakainya. Sistem pengetahuan meliputi ruang pengetahuan tentang alam sekitar, flora dan fauna, waktu, ruang dan bilangan, sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia, tubuh manusia.
3. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial
Dimaknai sebagai sekelompok masyarakat yang anggotanya merasa satu dengan sesamanya. Organisasi sosial meliputi: kekerabatan, asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup, perkumpulan.
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
Teknologi di sini dimaknai sebagai jumlah keseluruhan teknik yang dimiliki oleh para anggota suatu masyarakat, meliputi keseluruhan cara bertindak dan berbuat dalam hubungannya dengan pengumpulan bahan-bahan mentah, pemrosesan bahan-bahan itu untuk dibuat menjadi alat kerja, penyimpanan, pakaian, perumahan, alat transportasi dan kebutuhan lain yang berupa benda material. Unsur teknologi yang paling menonjol adalah kebudayaan fisik yang meliputi, alat-alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan serta alat-alat transportasi.
5. Sistem mata pencaharian hidup
Ini merupakan segala usaha manusia untuk mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sistem ekonomi ini meliputi, berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan, dan perdagangan.
6. Sistem religi
Perpaduan antara keyakinan dan praktik keagamaan yang berhubungan dengan hal-hal suci dan tidak terjangkau oleh akal. Sistem ini meliputi, sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan, dan upacara keagamaan.
7. Kesenian
Kesenian dapat dimaknai sebagai segala hasrat manusia terhadap keindahan. Bentuk keindahan yang beraneka ragam itu timbul dari imajinasi kreatif yang dapat memberikan kepuasan batin bagi manusia. Pemetaan bentuk kesenian dapat terbagi menjadi tiga garis besar, yaitu; seni rupa, seni suara dan seni tari.
Fungsi-fungsi Budaya
Budaya memiliki makna tersendiri bagi masing-masing bentuk kelompok sosial masyarakat. Semakin melekat budaya tersebut maka akan semakin banyak yang merasakan fungsi budaya. Berikut merupakan beberapa fungsi budaya secara umum dalam berbagai bidang:
1. Pedoman dalam interaksi dengan sesama manusia.
Setiap daerah terutama di daerah timur memiliki banyak budaya yang digunakan. Hal ini menjadi pedoman dalam melakukan jenis interaksi sosial secara langsung. Hal ini harus secara sadar dilakukan oleh masing-masing individu. Bahkan budaya ini telah menjadi kesepakatan bersama, walaupun tidak terdapat bukti tertulis. Kebudayaan yang bersifat tidak tertulis, tetapi terus dilakukan akan menjadi kebiasaan dan terus dilakukan secara turun temurun. Salah satu cara melestarikan dan tetap dapat merasakan fungsi budaya tersebut harus terus dilestarikan dari generasi ke generasi.
2. Wadah untuk menyalurkan perasaan tentang kehidupan.
Salah satu bentuk ekspresi masyarakat ditunjukkan dengan sebuah kebudayaan yang berupa karya seni tertentu. Banyak kita temukan berbagai tarian, seni ukir, batik, dan lain-lain. Semua kesenian tersebut sebagai bentuk ungkapan perasaan masyarakat yang diabadikan dalam sebuah kesenian, sehingga kita dapat menikmati hingga saat ini.
3. Pedoman hidup manusia.
Ketika ingin melakukan suatu tindakan harus memiliki dasar agar tidak dianggap melenceng dari kebiasaan di masyarakat. Hal ini menjadi dasar manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Untuk saat ini sudah banyak masyarakat modern yang sudah mulai meninggalkan budaya walaupun tidak sepenuhnya.
4. Sebagai identitas individu atau kelompok.
Budaya menjadi ciri khas tersendiri untuk kelompok tertentu. Ketika menjalankan sebuah budaya maka akan kelihatan dari mana kita berasal. Hal-hal yang biasa menunjukkan asal daerah adalah dialek. Dialek merupakan identitas yang melekat pada diri seseorang yang menunjukkan dari mana dia berasal.
5. Acuan hidup manusia.
Budaya juga berfungsi sebagai acuan ketika seseorang bertindak, baik untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Hal ini akan menyangkut tentang hal-hal penting yang ada di masyarakat. Budaya juga akan menjadi acuan nilai dan moral yang ada di masyarakat.
6. Pembuatan tata tertib untuk masyarakat.
Budaya akan membentuk sebuah aturan yang harus ditaati oleh masyarakat. Tata tertib ini dapat bersifat tertulis atau non tertulis tergantung kesepakatan masyarakat. Apabila kita lihat banyak kesepakatan yang tidak tertulis namun dijalankan oleh seluruh masyarakat. Tata tertib dapat dilaksanakan oleh siapa pun yang berada dalam lingkup kelompok sosial tertentu.
7. Tempat berlindung seseorang.
Ketika melakukan sebuah kegiatan yang berbau budaya seseorang akan merasa aman dan merasakan sebuah kebersamaan. Tidak ada pengganggu yang akan merusak sebuah acara adat dengan demikian dengan mengikuti budaya seseorang dapat terlindungi. Apabila ada gangguan ketika pelaksanaan sebuah budaya maka akan di lawan secara bersama-sama.
8. Ciri khas seseorang.
Budaya dapat menjadi ciri khas seseorang dalam berbagai jenis kegiatan. Hal tersebut dapat dilihat dari cara berbicara dan dialek. Untuk kalangan tertentu dapat dilihat dari pakaian adat, rumah adat, dan lain-lain yang sudah diakui di Indonesia. Ciri khas ini mungkin akan dikenali oleh orang-orang tertentu.
9. Tanda dari mana seseorang berasal.
Asal daerah juga dapat dilihat dari kebudayaan yang dimiliki. Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri, mulai dari warna kulit, cara bicara, pakaian, dan lain-lain. Ketika baru berasal dari daerah dan belum ada campuran budaya lain hal ini akan sangat mudah di lihat untuk sebagian orang.
10. Mengendalikan perilaku masyarakat.
Budaya digunakan untuk mengontrol perilaku masyarakat. Ketika memiliki budaya diharapkan tingkah laku masyarakat tidak keluar dari adat istiadat yang telah terbentuk. Ketika ada yang melanggar sebuah budaya maka akan mendapat hukuman dari masyarakat yang tentu dampaknya akan mempengaruhi psikis seseorang dan dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
11. Memberikan batasan dalam bertindak.
Budaya memberikan batasan-batasan tertentu bagi kelompok masyarakatnya. Bagi yang melanggar batasan tersebut dianggap melanggar aturan budaya. Hukuman yang akan diperoleh berdasarkan kesepakatan masyarakat. Ada yang dikucilkan, diusir dari tempat tersebut, dan lain-lain. Hal ini biasa terjadi di lingkungan yang masih memegang teguh budaya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
12. Wujud dari sebuah norma.
Norma sosial yang telah dibuat berdasarkan kebiasaan dan kesepakatan akan tercermin dalam sebuah budaya yang ada di masyarakat. Ketika masyarakat masih memegang teguh norma yang ada maka budaya tidak akan hilang dari daerah tersebut. seiring bertambahnya zaman sudah banyak budaya yang mulai berganti dengan budaya baru yang dengan mudah diterima oleh masyarakat terutama golongan muda. Norma yang paling dekat dengan budaya adalah norma adat. Segala budaya yang berkaitan dengan kegiatan spiritual atau sesuatu yang bersifat sakral. Dalam kegiatan ini akan menjadi sebuah simbol yang memiliki makna tersendiri bagi masing-masing kelompok sosial.
13. Wujud dari sebuah nilai.
Nilai sosial dalam masyarakat sangat beragam mulai yang memiliki dampak kecil hingga yang besar. agar mudah memahami berbagai nilai yang ada biasanya dirangkum dalam sebuah budaya yang menjadi tradisi dalam kurun waktu tertentu. Hal ini terus terjadi secara terus-menerus sehingga nilai-nilai yang ada masih bisa dilakukan hingga saat ini. Nilai juga menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi masyarakat khususnya orang yang dianggap tua. Kalangan muda harus mampu melestarikan ini agar semua budaya yang positif tetap ada dan menjadi suatu kebanggaan bagi setiap individu. Bahkan budaya menjadi sesuatu yang penting dan bahkan ada negara yang terus mencari jati diri melalui budaya.
Sentuhan Budaya Arab Pra-Islam
Bangsa Arab pra-Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografisnya yang strategis membuat Islam yang diturunkan di Arab (Mekah) mudah tersebar ke berbagai wilayah, di samping didorong dengan cepatnya laju perluasan wilayah yang dilakukan oleh umat Islam.
Meskipun sulit digambarkan secara komprehensif, ciri-ciri utama tatanan Arab pra-Islam adalah sebagai berikut: a) Mereka menganut paham kesukuan (qabilah); b) Memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan dengan partisipasi warga yang terbatas, faktor keturunan lebih penting dari pada kemampuan; c) Mengenal hierarki sosial yang kuat; d) Dan kedudukan perempuan cenderung direndahkan. (Nurcholish Madjid, 1995: 28)
Di samping ciri-ciri tersebut, Mekah pada pra-Islam sudah terdapat jabatan-jabatan penting, seperti dipegang oleh Qushayy bin Qilab pada pertengahan abad V M. Dalam rangka memelihara Ka’bah, dibentuklah jabatan-jabatan sebagai berikut: Hijaba (penjaga pintu Ka’bah atau juru kunci); siqaya (petugas yang diharuskan menyediakan air tawar untuk para tamu yang berkunjung ke Ka’bah serta menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma); rifadla (petugas yang diharuskan memberi makan kepada para pengunjung Ka’bah); nadwa (petugas yang harus memimpin rapat pada setiap tahun); liwa’ (pemegang panji yang dipancangkan di tombak kemudian ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang menghadapi musuh); dan qiyada (pemimpin pasukan apabila hendak berperang). (Muhammad Husein Haikal, 1984: 35)
Dari segi aqidah (‘aqa’id), bangsa Arab pra-Islam percaya kepada Allah sebagai pencipta (Q.S. Luqman [31]: 25; dan al-Ankabut [29]: 63). Sumber kepercayaan tersebut adalah risalah samawiah yang dikembangkan dan disebarkan di Jazirah Arab, terutama risalah Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il.
Kemudian bangsa Arab pra-Islam melakukan transformasi dari sudut Islam yang dibawa Muhammad disebut penyimpangan agama mereka sehingga menjadikan berhala, pohon-pohon, binatang, dan jin sebagai penyerta Allah (Q.S. Al- An’am [6]: 100). Demi kepentingan ibadah, bangsa Arab pra-Islam membuat 360 buah berhala di sekitar Ka’bah karena setiap kabilah memiliki berhala (Muathafa Sa’id al-Khinn, 1984: 15-6). Mereka pada umumnya tidak percaya pada Hari Kiamat dan tidak pula percaya adanya kebangkitan setelah kematian. (Q.S Al-Mu’min [23]: 37)
Meskipun pada umumnya melakukan penyimpangan, sebagian kecil bangsa Arab masih mempertahankan akidah monotheism, seperti diajarkan Nabi Ibrahim a.s. Mereka disebut al-hunafa.[ Hal ini berhubungan erat dengan firman Allah yang menyatakan bahwa Ibrahim bukanlah Yahudi dan bukan pula Nasrani, tetapi seorang yang lurus dan menyerahkan diri kepada Allah, dan betul-betul tidak termasuk orang musyrik (Q.S. Ali Imran [3]: 67).] Di antara mereka adalah ‘Umar bin Nufail dan Zuhair bin Abi Salma. (Mustafa Sa’id al-Khinn, 1984: 17)
Dalam bidang hukum, bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. Dalam perkawinan, mereka mengenal beberapa macam pekawinan, di antaranya; 1) aistibdla; 2) poliandri; 3) maqhtu’; 4) bada; 5) dan shighar. (Mustafa said al-Khinn, 1984: 18-9)
Dilihat dari sumber yang digunakan, hukum Arab pra-Islam bersumber pada adat istiadat. Dalam bidang muamalat, di antara kebiasaan mereka adalah dibolehkannya transaksi mubadalah (barter), jual beli, kerja sama pertanian (muzara’ah), dan riba. Di samping itu, di kalangan mereka juga terdapat jual beli yang bersifat spekulatif, seperti bai’ al munabadzah.
Di antara ketentuan hukum keluarga Arab pra-Islam adalah dibolehkannya berpoligini dengan perempuan dengan jumlah tanpa batas; serta anak kecil dan perempuan tidak dapat menerima harta pusaka atau harta peninggalan. (Subhi Mahmashshani, 1961: 31).
Arab Saat Kelahiran Islam
Islam diwahyukan oleh Allah melalui seorang hamba dan rasul-Nya yaitu Muhammad Ibn Abdillah yang lahir pada 12 R. Awwal Tahun Gajah bertepatan dengan 29 Agustus 571 M di Mekkah. Beliau berasal dari kabilah Quraisy yang merupakan kabilah terhormat di kalangan bangsa Arab. Beliau menerima wahyu pertamanya pada umur 40 tahun dan menjadi titik awal lahirnya ajaran agama penyempurna agama Tauhid dari Nabi Ibrahim, yaitu Islam. Jalan dakwah yang dilaluinya cukup terjal dan mendapat tekanan dan penolakan dari berbagai pihak. Namun tanpa mengenal putus asa, beliau tetap melanjutkan misi suci menyampaikan wahyu Allah kepada manusia. Secara keseluruhan, beliau menghabiskan waktu sekitar 23 tahun untuk berdakwah menyeru kepada Islam, dengan rincian 13 tahun pertama dilaksanakan di Mekkah dan 10 tahun selanjutnya di kota Yatsrib atau Madinah. (Palmer, 2005: 158; Syauqi, 2016: 1)
Tujuan dakwah Nabi selama 13 tahun di Mekkah adalah penanaman dasar-dasar keimanan dan segala yang berhubungan dengan akidah. Hal tersebut dapat dicermati dalam hal-hal yang dibahas dalam surah Makkiyah yang kental dengan masalah akidah dan keimanan. Berbeda dengan periode selanjutnya, di Madinah Nabi mulai menerapkan syari’ah Islam, hukum-hukum dan pembangunan ekonomi, sebagai dasar kehidupan bernegara dan bermasyarakat (Palmer, 2005: 160, 163; Syauqi, 2016: 1; Karim, 2015: 64; Supriyadi, 2016: 62-63).
Berbagai dasar-dasar kemasyarakatan Islam diletakkan oleh Nabi demi membangun miniatur negara yang sesuai dengan konsep Islam. Pertama, pendirian masjid untuk tempat berkumpul dan bermusyawarah di samping fungsi utamanya sebagai tempat ibadah. Kedua, mempersaudarakan antar kaum muslim pendatang (Muhajirin) dan penduduk asli Madinah (Anshar) meski tidak memiliki hubungan kekerabatan secara keturunan. Ketiga , membuat perjanjian untuk bekerja sama dan saling membantu antara kaum muslim dan bukan muslim (Karim, 2105: 68-70).
Kala itu di Madinah setidaknya ada 12 kelompok berbeda yang mengadakan perjanjian yang disebut Piagam Madinah (Madinah Charter). Kelompok-kelompok tersebut diwakili oleh tiga kelompok besar, yaitu kaum Muslim, kaum Yahudi dan orang Arab yang belum masuk Islam (Karim, 2105: 68-70; Supriyadi, 2016: 63-65; Syauqi, 2016: 8-9). Dalam piagam tersebut sedikitnya terdapat 5 poin kesepakatan antar seluruh penduduk Madinah yang berbunyi sebagai berikut:
- Tiap kelompok dijamin kebebasannya dalam beragama,
- Tiap kelompok berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah,
- Tiap kelompok harus saling membantu dalam mempertahankan Madinah, baik yang muslim maupun non-muslim,
- Penduduk Madinah semuanya sepakat mengangkat Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya dan memberi keputusan hukum segala perkara yang dihadapkan kepadanya,
- Dan Meletakkan landasan berpolitik, ekonomi, dan kemasyarakatan bagi negeri Madinah yang baru terbentuk. (Karim, 2015: 69-70; Supriyadi, 2016: 64-65)
Dasar berpolitik yang dijunjung oleh Nabi adalah keadilan. Prinsip keadilan harus dijalankan terhadap semua penduduk tanpa pandang bulu dan mengakui persamaan derajat seluruh manusia di hadapan Allah. Prinsip ini cukup berat untuk dipraktikkan mengingat tradisi Arab yang mengakui keunggulan satu keturunan atau satu kabilah tertentu atas lainnya. Prinsip lainnya adalah prinsip musyawarah untuk memecahkan segala persoalan demi tercapainya kemaslahatan bersama (Karim, 2015: 70)
Prinsip sosial Islam (social justice) juga diperkenalkan menggantikan berbagai tradisi Jahiliyah yang kurang (bahkan tidak) berperikemanusiaan (Armstrong, 2002: 6). Nabi yang juga berdagang mengajarkan konsep jual-beli yang berbeda dengan tradisi Arab dahulu, tidak ada lagi monopoli perdagangan maupun sistem ekonomi kapitalis. Derajat wanita yang dahulu tidak berharga diangkat sedemikian rupa sehingga memiliki derajat yang setara dengan pria (Armstrong, 2002: 16)
Hukum pernikahan Islam pun diterapkan dengan membatasi seorang pria beristri 4 orang wanita dan melalui akad yang sah. Seorang wanita juga mendapatkan bagian dari harta warisan yang ditinggalkan oleh suami atau orang tuanya. Islam juga mengharamkan berbagai perbuatan tercela yang menjadi tradisi Arab seperti bertaruh, berjudi, minum khamr dan perbuatan tercela lainnya. (Syauqi, 2016: 2)
Beberapa perubahan sosial lainnya adalah semakin terangkatnya derajat manusia, terutama para budak belian. Perlahan namun pasti, Nabi mencoba mengurangi praktik perdagangan budak dan memberikan mereka hak-hak seperti manusia lainnya. Salah satunya adalah banyaknya hukuman atas perbuatan dosa dalam Islam mensyariatkan pembebasan budak sebagai hukumannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah budak-budak yang diperjual belikan kala itu (Karim, 2015: 73-74; Supriyadi, 2016: 64)
Secara tersirat, Islam mengembalikan hak-hak manusia seperti yang disepakati dalam Piagam Atlantik (The Atlantic Charter) tentang The Four Freedom of Mankind (empat macam kebebasan manusia). Oleh karena itu, Nabi berupaya mengurangi peperangan dan konflik yang berujung pertumpahan darah sebagaimana tradisi suku-suku Arab terdahulu. Alih-alih berperang, Nabi menekankan sifat saling memaafkan dan berlapang dada. Sikap tersebut amat tampak saat Pembebasan Mekkah (Fathu Makkah), di mana kaum Quraisy yang amat memusuhi Nabi tidak mendapatkan hukuman, melainkan pengampunan atas semua kesalahan mereka (Armstrong, 2002: 22- 23). Sejarah perang yang terjadi di zaman Nabi tidak lain karena terlebih dahulu diserang sehingga menuntut untuk terjadi peperangan. Bila memungkinkan, Nabi lebih memilih cara-cara diplomasi dan perundingan dibandingkan mengobarkan peperangan (Karim, 2015: 73-74; Supriyadi, 2016: 64).
Bentuk pemerintahan Madinah sendiri bercorak teokrasi dengan seorang Rasul sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara namun kedaulatan berada di tangan Allah. Konsep yang disebut Islamic State ini menempatkan Allah sebagai de jure sovereignty dan Nabi sebagai de facto sovereignty (Karim, 2015: 74; Syauqi, 2016: 1). Selain itu, Nabi juga menerapkan sistem republik dengan bantuan Majelis Syura
Dalam pemerintahannya, sebagaimana sistem Arab pra-Islam, Nabi juga menyusun gubernur-gubernur atau wali-wali yang bertanggungjawab dalam berbagai bidang seperti perekonomian, hukum, peradilan, pertahanan dan keagamaan. Dengan ini menunjukkan bahwa Islam tidak menolak semua tradisi Arab pra-Islam, namun mengakomodir berbagai sistem dan adat istiadat yang dipandang baik dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam, seperti konsep pernikahan, sistem perdagangan dan lain sebagainya (Karim, 2015: 74-75).
Islam Sebagai Gejala Sosial
Islam sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Pada zaman dahulu sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat.
Belakangan sosiologi agama mempelajari bukan soal hubungan timbal balik, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimana Agama sebagai sistem nilai yang mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Bagaimanapun juga, ada juga pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat bahwa lahirnya teologi Syiah, Khawarij, Ahlu Sunnah wal Jama'ah sebagai produk pertikaian politik. Tauhidnya memang asli dan satu, tetapi anggapan bahwa Ali sebagai imam dan semacamnya adalah produk perbedaan pandangan politik. Jadi pergeseran masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran teologi atau keagamaan.
Karakteristik ajaran Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol, karena seluruh bidang ajaran Islam pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi nilai tolong menolong, nasehat-menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan egaliter (kesamaan derajat) tenggang rasa dan kebersamaan.
Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, jenis kelamin dan lain sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaannya yang ditunjukkan oleh potensi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini maka dalam Islam mempunyai kesempatan yang sama. Mobilitas vertikal dalam arti yang sesungguhnya ada dalam Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas sosial tersebut tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi sungguhpun dari kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat meningkat kedudukannya serta mendapat hak-hak sesuai dengan prestasi yang dicapainya.
Islam Sebagai Gejala Budaya
Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini sering kali membingungkan ketika kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari. Koentjaraningrat misalnya, mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karya. Ia juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yang terdapat dalam semua kebudayaan yaitu, salah satunya adalah sistem religi. Pandangan di atas, menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan.
Dengan demikian, agama (menurut pendapat di atas) merupakan gagasan dan karya manusia. Bahkan lebih jauh Koentjaraningrat menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat berubah dan agama merupakan unsur yang paling sukar untuk berubah. Ketika Islam diterjemahkan sebagai agama (religi) berdasar pandangan di atas, maka Islam merupakan hasil dari keseluruhan gagasan dan karya manusia. Islam pun dapat pula berubah jika bersentuhan dengan peradaban lain dalam sejarah. Islam lahir dalam sebuah kebudayaan dan berkembang (berubah) dalam sejarah. Islam merupakan produk kebudayaan. Islam tidaklah datang dari langit, ia berproses dalam sejarah.
Agama sebagai budaya, juga dapat dilihat sebagai mekanisme control, karena agama adalah pranata sosial dan gejala sosial, yang berfungsi sebagai kontrol, terhadap institusi-institusi yang ada. Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat Islam berpegang pada kaidah: Al-Muhafadhatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al jaded al-ashlah, artinya: Memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk budaya baru yang lebih baik. Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa hasil pemikiran manusia yang berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut kebudayaan, maka sistem pertahanan Islam, sistem keuangan Islam, dan sebagainya yang timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula. Kalaupun ada perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak pada keadaan institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas dasar prinsip-prinsip yang tersebut dalam al-Qur`an.
Pendekatan Studi Kebudayaan
Kajian Budaya atau “Cultural Studies” merupakan bidang yang majemuk dengan perspektif dan produksi teori yang kaya dan beraneka ragam. Dalam ranah keilmuan para pengkaji budaya meyakini bahwa tidaklah mudah untuk menentukan batas-batas dan wilayah-wilayah kajian budaya secara khas dan komprehensif, terlebih di tengah perkembangan globalisasi di berbagai bidang di mana batasan-batasan kultural, politik, dan ekonomi semakin kabur, selain juga karena wilayah kajian budaya bersifat multidisipliner/interdisipliner atau pasca disipliner sehingga mengaburkan batas-batas antara kajian budaya dengan subyek-subyek lain. Suatu arena interdisipliner di mana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dipergunakan dalam rangka menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan, kebutuhan akan perubahan dan representasi atas kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, khususnya kelas, gender, dan ras, dengan demikian Cultural Studies adalah suatu teori yang dibangun oleh para pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoritis sebagai praktik politik.
Menurut Barker melakukan Kajian Budaya berarti mengkaji kebudayaan sebagai “praktik-praktik pemaknaan” dalam konteks kekuasaan sosial, dengan mengajukan berbagai pertanyaan mengenai pemaknaan yaitu bagaimana peta-peta makna diciptakan dalam kebudayaan? yang kemudian menjadi sekumpulan praktik pemaknaan, melacak makna-makna apa saja yang didistribusikan? oleh siapa? untuk siapa? dengan tujuan apa? dan atas kepentingan apa?.
Sementara dalam ranah praktiknya kajian budaya berpusat pada tiga pendekatan:
- Etnografi, yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan kulturalis dan penekanan pada “pengalaman hidup sehari-hari.”
- Pendekatan tekstual, yang cenderung mengambil dari semiotika, pasca strukturalisme, dan dekonstruksi deridean.
- Kajian resepsi, yang akar teoritisnya bersifat eklektik.
Etnografi merupakan pendekatan empiris dan teoritis yang diwarisi dari antropologi yang berusaha membuat deskripsi terperinci dan analisis kebudayaan yang didasarkan atas kerja lapangan secara intensif.
Pendekatan tekstual, menggunakan tiga cara analisis yaitu: semiotika, teori narasi, dekonstruksionisme. Semiotika mengeksplorasi bagaimana makna yang terbangun oleh teks didapat melalui penataan tanda dengan cara tertentu dan melalui penggunaan kode-kode budaya, analisis tersebut banyak mengambil ide dari ideologi, atau mitos teks.
Narasi adalah penjelasan yang tertata urut yang mengklaim sebagai rekaman peristiwa. Narasi merupakan bentuk terstruktur di mana kisah mengungkapkan penjelasan tentang bagaimana dunia ini. Dekonstruksionisme diasosiasikan sebagai pelucutan yang dilakukan Derrida atas oposisi biner dalam filsafat barat, mendekonstruksi berarti ambil bagian, membongkar kembali, demi menemukan dan menampilkan asumsi suatu teks.
Tujuan dekonstruksi bukan hanya membalik urutan oposisi biner tersebut, melainkan juga menunjukkan bahwa mereka saling berimplikasi, saling berhubungan satu sama lain. Dekonstruksi berusaha menampakkan titik-titik kosong teks, asumsi yang tak dikenal yang melandasi gerakan sistem kerja mereka. Kajian resepsi/kajian konsumsi, menyatakan bahwa apa pun yang dilakukan analisis makna tekstual sebagai kritik masih jauh dari kepastian tentang makna yang teridentifikasi yang akan didapat oleh pembaca/audiens/konsumen, di mana audiens merupakan pencipta aktif makna dalam kaitannya dengan teks.
Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi. Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, dibicarakan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan merupakan wilayah amatan cultural studies.
Budaya bukanlah yang adiluhung saja. Pemahaman serupa ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari pemahaman antropologis atas budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life) sekelompok masyarakat. Salah satu fondasi terpenting bagi pendekatan yang memandang budaya sebagai kegiatan sehari-hari adalah pemahaman tentang konstruksi sosial atas realitas (the social construction of reality). Dalam perspektif ini realitas dipahami dan diabaikan, diperbincangkan dan dilupakan, dihidupi atau dimatikan, dikelola atau dirusak, dimanfaatkan atau dihindari, berdasarkan sistem konstruksi yang beredar di kalangan warga masyarakat.
Fungsi Pokok Studi Kebudayaan
Fungsi pokok cultural studies adalah membongkar dan memaparkan unsur-unsur penyusun konstruk tersebut dan cara kerjanya, agar manusia sebagai subyek dapat melibatkan diri secara aktif dalam dunia konstruksi.
Dalam hal metodologi, cultural studies secara garis besar ditandai dengan gabungan antara metode dekonstruktif (mengurai unsur-unsur pembentuk struktur) dengan analisis tekstual (membedah struktur teks/bentuk ekspresi), metode etnografi (penggambaran rinci berdasarkan kacamata pemilik budaya), analisa resepsi (komunikasi dipahami sebagai peristiwa interaktif antara sender dan reseptor yang di jembatani oleh media tertentu dalam konteks tertentu), dan meletakkan teori pada tingkatan praxis (‘teori’ yang dipraktikkan – theory of practice).
Kesimpulan
- Kebudayaan merupakan hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan lain-lain). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudayaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropologi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan.
- Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam yaitu; 1) Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam, 2) Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian di rekonstruksi sehingga menjadi Islami, 3) Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
- Menurut Guru besar antropologi Universitas Indonesia, Koentjaraningrat membagi unsur kebudayaan universal ini menjadi tujuh bagian, yakni; Bahasa, Sistem Pengetahuan, Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem pencaharian hidup, Sistem Religi, Kesenian.
- Beberapa fungsi budaya secara umum dalam berbagai bidang yaitu: 1) Pedoman dalam interaksi dengan sesama manusia, 2) Wadah untuk menyalurkan perasaan tentang kehidupan, 3) Pedoman hidup manusia, 4) Sebagai identitas individu atau kelompok, 5) Acuan hidup manusia, 6) Pembuatan tata tertib untuk masyarakat, 7) Tempat berlindung seseorang, 8) Ciri khas seseorang, 9) Tanda dari mana seseorang berasal, 10) Mengendalikan perilaku masyarakat, 11) Memberikan batasan dalam bertindak, 12) Wujud dari sebuah norma, dan 13) Wujud dari sebuah nilai.
- Bangsa arab pra-Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografisnya yang strategis membuat Islam yang diturunkan di Arab mudah tersebar ke berbagai wilayah, di samping didorong cepatnya laju perluasan wilayah yang dilakukan oleh umat muslim. Ciri-ciri utama tatanan Arab pra-islam adalah sebagai berikut:
- Mereka menganut paham kesukuan (qabilah);
- Memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan dengan partisipasi warga yang terbatas, faktor keturunan lebih penting dari pada kemampuan;
- Mengenal hierarki sosial yang kuat;
- Dan kedudukan perempuan cenderung direndahkan.
- Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin tentunya mempunyai konsep atau ajaran yang bersifat manusiawi dan universal, yang dapat menyelamatkan umat manusia dan alam semesta dari kehancurannya. Oleh karena itu, Islam harus bisa menawarkan nilai, norma, dan aturan hidup yang bersifat manusiawi dan universal itu kepada manusia modern, dan diharapkan dapat memberikan alternatif pemecahan terhadap problematis umat manusia yang hidup di dunia modern dan era global ini. Ajaran agama Islam telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan akal dan sosial budaya masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ajaran Islam telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan akal pikiran manusia serta sosial budayanya untuk mewujudkan suatu sosial budaya dan masyarakat yang Islami.
- Fungsi pokok cultural studies adalah membongkar dan memaparkan unsur-unsur penyusun konstruk tersebut dan cara kerjanya, agar manusia sebagai subyek dapat melibatkan diri secara aktif dalam dunia konstruksi.
DAFTAR PUSTAKA
- Hakim, Atang Abd, dan Jaih Mubarok. 2012. METODOLOGI STUDI ISLAM. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
- Soelaeman, M. Munandar. 1987. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: PT. ERESCO.
- Yahya, Yuangga Kurnia. 2019. Pengaruh Penyebaran Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara: Studi Geobudaya dan Geopolitik. Al-Tsaqafa: Jurnal Peradaban Islam, 16(1), 50-52.
- Mudzhar, M. Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Amin, Masyhur, dan Ahmad S. Ismail. 1993. Dialog Pemikiran Islam dan Empirik. Yogyakarta: LAKPESDAM.
- Hasyim, Muhammad. 2016. Kajian Budaya dan Media. Makassar: PPKPS Departemen Sastra Prancis.
- Simuh. 1995. Sufisme Jawa, Transformasi Tasawwuf ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.