Hakikat Manusia PDF
Ditulis pada: 21.52
Pengertian Manusia
Manusia, pada dasarnya merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna dan sebaik-baik penciptaan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) manusia diartikan sebagai makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Sedangkan menurut Endang Saifuddin Anshari yang dikutip oleh Mahmud dan Tedi Priatna (2005: 62) manusia adalah hewan yang berpikir. Berpikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, dan mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Seperti mencari jawaban tentang Tuhan, alam, bahkan manusia itu sendiri, yang artinya adalah mencari kebenaran tentang Tuhan, alam, dan manusia. Jadi, bisa dikatakan manusia adalah makhluk pencari kebenaran.
Jika dilihat dari sudut pandang biologis, antara manusia dan hewan memiliki perbedaan yang sangat tipis. Perbedaan tersebut terdapat pada sisi kerohanian manusia dan akal budinya. Di mana dengan akal, manusia dapat melahirkan kebudayaan dan peradaban. Dengan akal, manusia dapat berimajinasi dan memiliki tujuan. Menurut Socrates (470-399 SM) manusia adalah makhluk yang dalam dirinya tertanam jawaban mengenai berbagai persoalan dunia. Manusia bertanya tentang dunia dan masing-masing mempunyai jawaban tentang dunia. Lanjut Socrates, sering kali manusia itu tidak menyadari bahwa dalam dirinya terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan yang dipertanyakannya. Oleh karena itu, perlu adanya bantuan orang lain untuk mengemukakan jawaban-jawaban yang masih terpendam tersebut. Diperlukan orang lain untuk melahirkan ide yang ada dalam manusia.
Pengertian Manusia Menurut Islam
Dalam Al-Qur'an sendiri, manusia berkali-kali diungkapkan dengan menggunakan istilah yang bermacam-macam, di antaranya: al-basyar dan al-insan. Masing-masing dari istilah tersebut juga memiliki makna yang beragam dalam menjelaskan manusia. Namun, perlu disadari bahwa keberagaman istilah tersebut bukanlah menunjukkan adanya kontradiksi uraian Al-Qur'an tentang manusia, tetapi malah menjadi keistimewaan yang luar biasa, karena Al-Qur'an mampu meletakkan suatu istilah yang tepat dengan sisi pandang atau penekanan pembicaraan yang sedang menjadi fokus pembicaraannya.
Pertama al-basyar, secara bahasa kata al-basyar memiliki arti kulit bagian luar yang menjadi tempat tumbuhnya rambut atau bulu. Penggunaan istilah al-basyar ini menekankan pada sisi fisik manusia yang secara biologis memiliki persamaan antara seluruh umat manusia. Dengan demikian, pengertian al-basyar tidak lain adalah pengertian manusia pada umumnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis yang memiliki sifat-sifat dan kebutuhan, seperti makan, minum, perlu hiburan, seks dan lain sebagainya .
Kedua al-insan, menurut Ibnu Manshur kata al-insan memiliki tiga asal kata: Pertama, yaitu berasal dari kata annasa yang berarti abshara (melihat). Kedua, berasal dari kata nasiya (lupa). Ketiga, berasal dari kata al-uns (jinak). Jika kata al-insan dilihat dari akar kata annasa (melihat), maka dapat diartikan bahwa manusia memiliki sifat-sifat potensial dan aktual untuk mampu berpikir dan bernalar. Dengan berpikir, manusia mengetahui yang benar dan salah, yang baik dan yang buruk, selanjutnya menentukan pilihan untuk senantiasa melakukan yang benar dan baik dan menjauhi yang salah dan buruk. Sedangkan al-insan dari sudut asal katanya nasiya (lupa), menunjukkan bahwa manusia mempunyai potensi untuk lupa, bahkan hilang ingatan atau kesadarannya. Demikian pula al-insan dari sudut asal katanya al-uns atau anisa (jinak), maka manusia dapat diartikan sebagai makhluk yang jinak, ramah, serta dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Hakikat Manusia
Dalam konsep filsafat Islam hakikat manusia tidak dilihat dari unsur-unsur yang membentuk dirinya. Hal ini berlaku pada orientasi berpikir secara substansi pokok yang melatarbelakangi adanya, atau orientasi berpikir pada fokus perhatian pada masa lalunya, tetapi hakikat manusia harus dilihat pada tahapannya sebagai nafs (jiwa, ruh, diri). Pada tahapan ini, sesungguhnya semua unsur yang membentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian, dan dinamik ada pada perbuatan dan amalnya. Sebagaimana yang telah digambarkan oleh Al-Qur’an bahwa ketidakmauan para setan untuk tunduk kepada manusia karena secara substansial manusia dipandang lebih rendah daripada dirinya. Manusia diciptakan dari tanah, sedangkan mereka diciptakan dari api.
Secara moral sesungguhnya manusia lebih jelek daripada malaikat, dan secara substansial manusia juga lebih jelek dari setan. Akan tetapi secara konseptual manusia lebih baik daripada keduanya, karena dengan kemampuan kreatifnya, manusia memiliki kemampuan menciptakan, suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh keduanya. Itulah mengapa Tuhan YME memerintahkan kepada para malaikat dan setan untuk memberi penghormatan kepada manusia, namun setan membangkang dari perintah-Nya, dan mengancam akan menjadi musuh abadi manusia. Jadi, yang menjadi musuh setan itu bukan Tuhan, karena tidak mungkin mereka dapat melakukannya, melainkan yang menjadi musuh setan adalah manusia, supaya kemampuan kreatif yang dimiliki manusia tidak mempertuhankan Tuhan tetapi mempertuhankan hawa nafsunya sendiri.
Dalam tahapan nafs, hakikat manusia tidak ditentukan oleh asal-usul keturunannya, kelompok sosial, dan golongan, ataupun bidang yang menjadi profesinya. Akan tetapi, hakikat manusia ditentukan oleh kualitas amal, karya, dan perbuatannya. Dalam kaitannya dengan konsep teologi atau tauhid, maka hakikat manusia dan fungsinya adalah sebagai hamba Allah SWT dan khalifah atau pemimpin di bumi dan kesatuan aktualisasi berbagai unsur-unsur yaitu jasad, hayat, dan ruh yang membentuknya pada tahapan diri atau nafs yang aktual. Dengan kata lain, manusia hakikatnya adalah monodualis (artinya manusia mempunyai dua kedudukan yaitu sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial) dan monopluralis (artinya manusia sebagai makhluk yang terdiri atas rohani dan raga yang diciptakan oleh Allah) yang aktual, dinamis, untuk mewujudkan karya kesalehan di muka bumi, sebagai jalan pengabdiannya kepada Tuhan YME.