Definisi Akhlak Menurut para Ahli
Ditulis pada: 20.28
Kata khalaqa yang mempunyai kata yang seakar di atas mengandung maksud bahwa akhlak merupakan jalinan yang mengikat atas kehendak Tuhan dan manusia. Pada makna lain kata akhlak dapat diartikan tata perilaku seseorang terhadap orang lain. Jika perilaku ataupun tindakan tersebut didasarkan atas kehendak Khaliq (Tuhan) maka hal itu disebut sebagai akhlak hakiki. Oleh karena itu, akhlak dapat dimaknai tata aturan atau norma kepribadian dan perilaku yang mengatur hubungan antara sesama manusia (hablumminannas), manusia dengan Tuhan (hablumminallah), serta manusia dengan alam semesta (hablumminalalam).
Pengertian akhlak secara terminologi menurut para ahli:
a) Menurut Imam Ghozali :
اَلْخُلُقْ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٍ عَنْهَا تَصْدُرُ الْاَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلى فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ
Artinya: “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan?”
b) Menurut Ibnu Maskawaih :
الخَلْقُ حَالٌ لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٍ لَهَا إِلَى افْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ
Artinya: “Akhlak adalah gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak membutuhkan pikiran dan pertimbangan.”
c) Menurut Ahmad Amin :
الخَلْقُ عَادَةُ الإِرَادَةِ
Artinya: “Khuluq (akhlak) adalah membiasakan kehendak.”
Dari berbagai definisi di atas, definisi yang disampaikan oleh Ahmad Amin lebih jelas menampakkan unsur yang mendorong terjadinya akhlak yaitu kebiasaan dan iradah (kehendak). Jika ditampilkan satu contoh proses akhlak dapat disebutkan berikut ini:
- Dalam iradah harus ada kecenderungan untuk melakukan sesuatu, kemudian terdapat pengulangan yang sering dikerjakan sehingga tidak memerlukan pikiran.
- Dalam iradah menampakkan hal-hal berikut: (a) lahir keinginan-keinginan setelah ada rangsangan (stimulan) melalui indra, (b) muncul kebimbangan, mana yang harus dipilih di antara keinginan-keinginan itu, padahal harus memilih satu dari keinginan tersebut, dan (c) mengambil keputusan dengan menentukan keinginan yang diprioritaskan di antara banyak keinginan tersebut .
Contoh, pada jam 2 siang seorang berangkat ke pasar mencari bengkel motor untuk membeli kampas rem. Di saat memasuki lorong gang, ketika menoleh ke arah kanan ia melihat warung makan yang penuh dan sesak ada kepulan bau nikmat yang ia hirup. Sesaat kemudian melihat arah kiri, terdapat es cendol yang laris dibeli orang. Padahal orang tersebut sudah lapar dan haus. Sementara di arah depan kelihatan mushalla yang nampak bersih dan dilihat hilir mudik orang sembahyang. Kemudian orang tersebut menentukan shalat terlebih dahulu karena mempertimbangkan jam yang sudah limit. Kesimpulan yang dipilih oleh orang tersebut setelah banyak mempertimbangkan beberapa keinginan disebut iradah. Jika iradah tersebut dibiasakan setiap ada beberapa keinginan dengan tanpa berpikir panjang karena sudah dirasakan oleh dirinya maka disebut akhlak.
Sebaliknya ada seorang kaya, mendengarkan pengajian da’i kondang menjelaskan hikmah infaq. Orang itu kemudian tertarik dan secara spontan memberikan uang satu juta rupiah untuk didermakan. Orang tersebut belum termasuk dermawan, karena pemberiannya ada dorongan dari luar. Orang tidak termasuk ramah terhadap tamu (secara akhlak) jika ia senang membeda-bedakan tamu yang datang. Dengan demikian akhlak bersifat konstan (tetap-selalu) spontan, tidak temporer dan juga tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar.
Di samping akhlak ada istilah lain disebut etika dan moral. ketiga istilah di atas sama, sama menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan seseorang. Bedanya akhlak mempunyai standar ajaran yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Etika bersandar kepada akal pikiran, sedangkan moral bersumber kepada adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.
Rujukan:
- Imam Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Darul Fikr, tt.), jilid III, hlm. 56.
- Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, (Mesir: Al-Mathba’ah alMishriyyah, 1934), cet. I, hlm. 40.
- Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak) terj., (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. VII, hlm. 62.